...SISA
liuk lidah api di cerobong “train,” kilang, gas alam cair Blang Lancang,
Lhokseumawe, Aceh Utara, itu tak lagi menyiramkan benderang cahaya di pucuk
langit Rancung, Batu Phat dan Paloh Lada. Sejak dua tahun lalu, lima dari enam
pucuk api itu, telah memaklumatkan hari kematiannya. Dan telah raib pula tari
kegelian dari kelebat liar jelaga cahaya, yang tiap kali angin laut mengibas
ujung lidahnya, Blang Lancang bermandikan sejuta kerlap kerlip bagaikan di
sebuah negeri kunang-kunang.
Benderang Blang Lancang adalah benderang negeri di tanah bertuah. Benderang
yang selalu meleleh di ingatan Azhari, pensiunan karyawan pabrik gas itu,
ketika mengingat kembali jejak tetirahnya, tigapuluh tahun lalu, pada saat
meniti karir di PT. Arun NGL dan menutup masa tugasnya yang panjang itu, enam
tahun lalu, sebagai “section head,” kepala seksi.
Blang Lancang dengan liuk lidah apinya yang mempesona itu, seperti dikatakan
Azhari dengan suara tercekat, ketika membuka hikayat kenangannya kepada kami
disebuah sudut Cunda, adalah berlaganya kontroversi simbol status negeri di
awan itu. Negeri yang dikutuk dan disanjung anak Rancung, Paloh Lada dan
Batuphat karena tak pernah bisa menggapainya.
Negeri yang dikatakan Azhari selalu mengundang rindu dan makian yang saking
menggemaskannya sering mengambuhkan penyakit “home sick”nya hingga berbinar
keubun-ubun.
Penyakit “home sick” yang mengelupaskan sekat lupa “vertigo”nya untuk kemudian,
tertatih-tatih mengembalikan detail ingatannya dalam “buku” kenangan. Dan salah
satu isi jalan kenangan yang paling berkesan itu, yang ia ingat secara
sempurna, ketika harus memulai ritual “shift” tiga di ujung penggalan malam dan
selalu ia awali dengan sepenggal doa pembuka.
Doa tengadah ke lenggok api di langit Blang Lancang yang banjar enam lidahnya
bergerak secara simetris. Lidah api di pucuk cerobong asap yang mengaum bersama
enam turbin pembangkit berdaya 120 megawat yang menenggelamkan bait pendek doa
tengadahnya.
“Tengadah,” yang ia katakan berulang kali dengan kalimat puitis, “sebagai rukun
pembuka kerja.” Rukun yang menyertai doa langitnya ketika membasuh pucuk api
Blang Lancang dengan syahdu. Pucuk api yang meliukkan gerak cepat berkelok yang
bagaikan langkah memutar tarian seudati milik Syech Lah Geunta maupun Syeh Rasyid.
Liuk ketika angin laut menggelitik yang terkadang, membuat ujung apinya rebah
dan menjulurkan jejak cahaya hingga jauh ke Paloh Lada dan Batu Phat, dua desa
tetangganya.
Blang Lancang, kini, ketika kami “mudik,” awal pekan lalu, hanya menyisakan satu,
dari enam, lidah api. Lidah api yang meliuk lamban, bagaikan penari di usia
senja yang merentang gerak tertatih-tatih, di tengah auman kilang gaek yang
meringis ketika diberitahu akan menerima “eska” pensiun dua tahun lagi.
Kilang uzur yang ketika kami datang sedang merintih dan menjalarkan auman
bersuara parau dan tertatih-tatih untuk menyelesaikan masakan gas alam cair
untuk memenuhi janji kontrak pengapalan ke Busan, Korea Selatan.
***
Ya, itulah sejumput kisah sisa kilang tua generasi pertama. Dan itu pula sisa
peninggalan kilang yang ketika dibangun tahun 1976 dicatatkan sebagai yang
paling moderen hasil temuan “revolusioner” teknologi minyak dan gas. Teknologi
kilang yang dibangun dengan rekayasa konstruksi oleh perusahaan ternama dunia
“Bechtel,” dan disanjung, kala itu, sebagai terobosan diversifikasi energi
untuk memadatkan gas alam guna memisahkan unsur “condensate,” sejenis minyak
lainnya, yang pengapalannya di ekspor ke Selandia Baru, serta elpiji, yang
dijual ke pasar domestik, sebagai produk ikutannya.
Untuk mengingat tonggak sejarah penemuan diversifikasi bahan bakar fosil ini
menjadi produk gas alam cair, Blang Lancang tidak hanya dikukuhkan sebagai
“pabrik gas terbesar di dunia,” mengalahkan kilang gas serupa di Alzajair,
tetapi juga menerima puja dan puji sebagai kilang penghasil gas paling bersih
emisi karbonnya.
Itulah sepotong cerita masa lalu kilang yang dibangun dengan komposisi
kepemilikan saham antara PT. Pertamina, pemegang kontrak karya (55 persen),
Mobil Oil, kontraktor sekaligus operator ladang gas (kini, setelah di akusisi,
menjadi Exxon Mobil (30 persen) dan JILCO, mewakili pembeli Jepang dan Korea
Selatan (15 persen).
Dan itu pula yang membawa kenangan panjang bagi “euforia” teknologi ketika gas
alam cair bisa dipadatkan untuk kemudian dikapalkan dengan tanker khusus dan di
ekspor ke terminal Osaka maupun Kobe di Jepang atau Busan di Korea Selatan
untuk kemudian disalurkan sebagai energi ke perusahaan pembangkit listrik
negara tersebut.
Temuan teknologi gas alam cair ini pula yang mendorong pemerintah membangun dua
pabrik pupuk di desa tetangga Blang Lancang, Kruenggeukeuh. PT Pupuk
Iskandarmuda dan PT Pupuk Asean Aceh Fertilizer serta sebuah pabrik kertas PT.
Kertas Kraft Aceh.
Kita tidak hanya mencatat temuan tercanggih dari produk minyak dan gas bumi,
kala itu, yang mengubah Blang Lancang maupun Kruenggeukeuh sebagai kawasan
seperti negeri antah berantah untuk kemudian di “syahadat”kan sebagai kawasan
bernama zona industri.
Tetapi juga, Blang Lancang, mengalami transformasi kultural yang dahsyat dengan
masyarakat plural yang mengedapankan etos kerja dan mengabaikan “domestic
social cultural.” Blang Lancang mengalami penyakit “megalomania” yang
menjadikannya gugup dari hembusan napas budaya “syariat.” Blang Lancang mengalami
“geger budaya” dan tercampak ke dalam barisan “zona western” yang rikuh dan
mengingatkan kita kepada kehidupan di ladang dan kilang di Texas sana dengan
kultur yang acuh.
Blang Lancang, Batu Phat ataupun Rancung, ketika itu memang sebuah zona “western.”
Zona orang dengan “style” celana “jeans,” sepatu “booth,” dan “helm” putih
bertuliskan “bechtel” ataupun “mobil” dan bercas-cis- cus “England Americo”
sembari menggasak “steak” dan “burger” di dapur “Indocater,” yang kemudian
menularkan gayanya bak penyakit “sampar” ke masyarakat di kampung-kampung
marjinal di seputar pabrik.
***
Blang Lancang, kini, ketika kami datang bertandang, awal pekan lalu, sedang
menjalani hidup senja, di usia tigapuluh tujuh tahun. Kilang uzur yang
mengenang masa kejayaannya ketika mencatatkan puncak produksinya dengan
mengapalkan sebanyak 224 gas alam cair ke Kobe, Osaka dan Busan.
Blang Lancang, kini, adalah sebuah pabrik gas masa lalu.
Dan ketika kami singgah di sana, di sebuah malam temaram, di penanggalan awal
Januari lalu, gerimis sedang membasuh kawasan itu. Dari arah Batu Phat, ketika
kami menengadah ke langit timurnya, perasaan getir menyengat di selangkang
memori. Perasaan getir yang datang menggelitik kepiluan hati kami kala
menyaksikan cahaya lidah apinya meliuk lunglai dan sesekali berkelebat dipeluk
angin timur.
Lidah api yang menari sendirian tanpa ditemani lagi lima cerobong asap
tetangganya yang sudah lama mampus. Sisa lidah api yang hanya bersungut ketika
mengibaskan jilatan cahaya “peusijuek”nya ke langit kelam.
Malam itu, di sebuah kedai kopi di pasar Batu Phat, kami tak melihat lagi
gairah Blang Lancang dengan kesibukan pekerja “shift” dua dan tiganya berjalan
dipelukan malam dan melarikan truk serta pikap berlabel PTA ke arah Rancung.
Juga telah raib pula cahaya benderang yang selama puluhan tahun membasuh langit
Paloh Lada, Batu Phat maupun Blang Lancang sendiri. Semuanya telah tamat. Telah
usai.
Dan ketika seruputan kopi terakhir kami terasa pahit, seorang kawan mendadak
berceloteh dengan bibir bergetar menahan gumam.“Sudah usai lima pemakaman di
Blang Lancang tanpa melantunkan doa samadiah berjamaah ........”
Kawan itu, Rusdi, anak Paloh Lada, yang dulu pernah menjadi “orang penting” dan
mendapat jatah sebagai “stringer” mengurus community development di sana. Ia
tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Kerongkongannya tercekat ketika bianglala kenangan Blang Lancang singgah dalam
ingatannya. BlangLancang tahun delapanpuluhan. Blang Lancang yang bagaikan
“enklaf” di sebuah negeri siluman, negeri antah berantah, bertabur cahaya dan
tak pernah digenggam sebagai milik anak “nanggroe” sebagai bagian tanah
“ware’eh” pusaka indatunya.
“Dulu kami hidup bagaikan di Texas. Semburan cahaya benderang sepanjang tahun
dan kesibukan pekerja pabrik hilir mudik dengan mobil bertulis PTA sebagai
simbol status sosial para pekerja. Dan kami sendiri tidak pernah sebagai tuan
di sini”
Rusli pantas mengenang masa keemasan pabrik gas alam cair bernama PT. Arun NGL
itu dengan dada sesak. Ketika pabrik gas yang usianya tersisa dua tahun lagi.
Pabrik gas yang sering diocehkan entah milik siapa di tanah milik kakek
moyangnya dan limpahan dollarnya berserak tanpa pernah memberikan kesejahteraan
anak Blang Lancang atau Batu Phat yang terusir ke pucuk Mbang sebagai kasta
“paria” atas nama relokasi.
Kasta “paria” yang di “rodi” siklus kehidupannya dari nelayan dan petambak
“neuheun” menjadi petani sayur dengan penyuluh yang didatangkan dari negeri
“bule” untuk kemudian bubar tanpa pernah mendapat ujung cerita yang “happy
ending.”
Dan anak-anak Blang Lancang, Rancung maupun Batu Phat, kini, usai “fiesta” gas
alam itu setelah perut buminya kempis, melata menjadi penganggur, dan bagian
lainnya terlunta-lunta mengikis lumut “rasueki” di seputar tanah bertuah milik
“ayah-moyangnya.” Tanah bertuah yang ketika “pipa line”nya menyisakan tetesan
terakhir mendapat jatah pengembalian bagi hasil sebesar 70 persen.
“Apalah arti pembagian tujuh puluh persen distribusi pendapatan setelah jumlah
pengapalannya 22 kali setahun. Bukan 224 pengapalan. Inilah zaman, ketika tipu
Aceh tidak lagi menjadi milik anak negeri,” ujar seoeang pengamat di Banda
Aceh. Tipu menipu yang memanipulasi angka “cost recovery” yang arus kasnya
pembiayaannya, “operational cost” berada diselangkah celana bule Amerika.
Itulah penggalan kisah anak Blang Lancang dan Rancung maupun Batu Phat yang
awalnya mendapat ganti rugi pembebasan tanah dengan ikatan duit berlimpah
menyembul di kantong dan membeli “Honda CB” sampai ke Medan.
Anak Blang Lancang yang kemudiannya, setelah hamburan duitnya berceceran
membeli kemiskinan, kembali menjadi “buruh” dengan panggilan keren “bang
bechtel” dan di hari-hari kami bertandang masih terbata-bata menceritakan
ceceran kisah “sukses” duit ganti rugi yang dibelanjakan kakek dan ayahnya
untuk membasuh daki kemiskinan. Sabun daki kemiskinan Honda CB, Kijang pikap
kotak sabun dan rumah di Pulaubrayan serta mencampakkan keranjang “meuge”
berbau anyir “engkot muloh dan udang wat.
Itulah sebuah ironi pengajaran masa lalu yang yang tak pernah kembali untuk kemudian
ingin ditebus anak cucu mereka dengan menuntut balik tanah ulayat milik
“indatu”nya dengan berkemah di jalur pipa.
***
2014, Blang Lancang, kilang yang pernah menyandang predikat “Terbesar di Dunia”
itu akan tutup buku bersamaan dengan berakhirnya kontrak ekspor gasnya dengan
Korea Selatan. Sisa kontrak yang tersisa sekitar 40-an pengapalan akan dipenuhi
sepanjang dua tahun ke depan.
Untuk tahun ini, menurut manajemen PT Arun, ekspor gas ke Busan, Korsel tidak
akan lebih dari 22 kapal, yang berarti sama dengan ekspor tahun 2011. Sedangkan
ekspor gas ke Kobe dan Osaka telah tamat tahun 2010 lalu yang sekaligus pula
memensiunkan lima train Blang Lancang.
Blang Lancang, usai “fiesta” panjang dollar berbau amis yang mengalir ke
pundi-pundi APBN selama tiga dekade lebih, tahun 2014, menyisakan baris
pertanyaan yang belum seluruhnya terjawab tuntas.
Pertanyaan menggelitik tentang pepatah plesetan, “habis gas besi dibangkaikan.”
Pertanyaan yang juga membangkitkan koreng di luka tak berparut sepanjang tanah
bekas “neuhun” milik anak nanggroe yang ditendang domisilinya ke bukit Mbang.
Akan jadi rongsokankah kilang, turbin gas pembangkit 120 megawat, pelabuhan,
dan tanki serta pipa-pipa gas milik Blang Lancang itu? Akankah raib nilai buku
kekayaan, hasil audit internal Pertamina, Rp. 6,5 triliun itu dari tanah
Rancung, Batu Phat dan Blang Lancang?
Itulah pertanyaan paling mengusik sepanjang hari-hari ditahun terakhir
kehidupan kilang gas itu. Pertanyaan akan dicampakkan kemana onggokan “besi
tua” yang berkahnya untuk negeri ini telah dilumat secara bancakan antara
pemodal, spekulan dan pemerintah pusat yang mengatasnamakan kepentingan fiskal.
Kepentingan pembangunan yang wujudnya tak pernah dinikmati anak-anak Blang
Lancang, Batu Phat, Paloh Lada hingga melingkar, nun jauh ke sana, ke
Syamtalira Aron maupun Syamtalira Bayu yang api “point A” maupun “point B”nya
telah padam. Dan kantor Exxon Mobil telah dialih pinjamkan ke Pemda Aceh Utara
atas kemura-hatian PT. Pertamina.
Di ujung tahun kemarin terdengar skenario baru tentang nasib akhir Blang
Lancang. Skenario untuk memungsikan sebagai terminal gas yang bahan bakunya
didatangkan dari Bontang dan Tangguh. Terminal berdurasi investasi 175 juta
dollar yang akan mengalirkan gasnya melalui pipa sepanjang 250 kilometer ke
Medan dan akan menghabiskan belanja mendekati angka 300 juta dollar.
Terminal yang kelak akan membangkitkan gairah birahi PT PIM mengejar kapasitas
penuh produksi. Terminal yang juga menunda pembangkaian PT AAF menjadi potongan
besi tua. Dan juga menghidupkan harapan kehidupan bagi PT KKA menjalani ritual
sebagai sebuah pabrik kraft peling prestiseus.
Kita belum tak tahu secara persis apakah janji mengubah Blang Lancang menjadi
terminal gas ini mimpi halusinasi atau ekstase “cet langet” model baru. Sebab,
sebelum godaan menjadikan Blang Lancang sebagai terminal gas, sudah terbit
sebuah Perpres tentang penunjukan Belawan sebagai terminal suplai untuk kawasan
Sumatera bagian Utara.
Kita mengingatkan dengan keras, kepada siapapun dia, jangan paksa lagi Aceh
mencabut pedang atas nama “perjuangan” untuk menegakkan harga dirinya sebagai
“bangsa” bermartabat untuk merebut muntahan janji keadilan. Jangan lagi bangun
jalan tak berujung yang ketika menggapainya harus di aplaus dengan sorak-sorai
perjuangan dan harus direbut dengan salakan bedil dan banyak jirat yang
kuburnya tak bernisan.
Blang Lancang ketika kami memunggunginya di pekan kedua Januari lalu, usai
menyantap nasih gurih Batu Phat, menunduk kalem di ujung dhuha yang langit
bewarna kelabu, “reudok.” Awan hitam yang berlari digelitik taifun kecil.
Hujan, entah tumpah atau tidak, kami tidak lagi pernah tahu. Tapi, yang kami
tahu, setelah beringsut dari tanah penuh janji itu, proposal terminal Blang
Lancang masih bergantung di awan hitam langit negeri “perjuangan” ini. -Atjeh
post.