Pertarungan dua kubu, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama, dalam memperebutkan suara warga dalam pemilihan
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tidak hanya terjadi di dunia
nyata. Di dunia online, pertarungan juga terjadi dan tidak kalah seru.
Pertarungan keduanya seolah menjadi pertarungan dua
brand yang berbeda. Sebelum memasuki pentas pemilihan kepala daerah DKI Jakarta,Fauzi Bowo (Foke) dan
Joko Widodo (Jokowi) merupakan dua
brand
yang memiliki penetrasi di medan yang berbeda-beda. Jokowi, dengan
latar belakang daerah, otomatis tak begitu dikenal luas seperti halnya
Foke yang sudah akrab di telinga warga ibu kota Jakarta.
Namun, dalam rentang dua bulan terakhir,
brand Jokowi justru berada di atas
brand Foke. Seperti halnya, hasil hitung cepat perolehan suara Pilkada Jakarta putaran II, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungguli pasangan Foke-Nachrowi Ramli (Nara).
Fenomena ini dengan mudah bisa dicatat oleh berbagai situs pemeringkat kompetisi
brand melalui pelacakan rekam jejak percakapan terkait dengan dua nama yang berkompetisi itu di jagat internet.
Menurut laman web analytics.topsy.com, salah satu situs yang menyediakan pelacakan percakapan
brand, terutama di jejaring sosial Twitter, sejak 24 Agustus 2012, kata kunci Jokowi
terus memimpin melawan Foke hingga 21 September, sehari setelah
pemungutan suara. Jokowi rata-rata dibicarakan 15.000-30.000 kali tiap
hari.
Dari grafis yang dihasilkan Topsy, banyaknya
mention atau penyebutan terhadap
brand Jokowi ataupun Foke berbanding lurus dengan berita yang ada di media massa.
Nama
Jokowi di dunia maya terutama melonjak dibicarakan orang pada 16
September, dipicu berita di sebuah media massa berjudul ”Foke
Pertanyakan Motivasi Jokowi Jadi Cagub”.
Berita itu tampaknya
lebih condong mengekspos nilai negatif dari Jokowi, tetapi kenyataannya
justru memberi umpan balik atau sentimen positif terhadap Jokowi dengan
menghasilkan sebanyak 88.441 percakapan di Twitter. Pada hari sama,
percakapan terhadap
brand Foke menghasilkan 58.511 kali, dengan berita ”Inilah ’Positifnya’ Jokowi di Mata Foke”.
”Fokoke Jokowi”
Jelang
hari-H pencoblosan, ada satu tulisan unik bernada humor yang mengatrol
pembicaraan positif mengenai Jokowi. Tulisan itu remeh-temeh dan tidak
didesain untuk kepentingan kampanye serius, hanya berupa kelakar.
Judulnya, ”Baru dapat kabar, Jokowi akhirnya berkoalisi dgn Foke.
Namanya Fokoke Jokowi”.
Humor itu ternyata menjadi titik tertinggi untuk meroketkan
brand Jokowi dengan total pembicaraan di media sosial naik tajam dari 51.727 menjadi 315.920 kali. Pada hari yang sama,
brand Foke juga menanjak, dari 30.458 menjadi 128.561 kali dengan dipicu berita ”7 Janji Foke”.
”Fokoke
Jokowi” adalah contoh pengolahan slogan yang kreatif, yang pada malam
sebelum pencobloson seolah bergerak menjadi ribuan pasukan yang
menghampiri para calon pencoblos via Twitter,
Facebook, blog, pesan singkat SMS, juga pesan Blackberry Messenger
(BBM). Slogan itu telah menjadi viral marketing, pemasaran gratis yang
menyebar bak virus
online.
Ikon lain yang berhasil menjadi duta media sosial melawan Foke adalah gambar dengan teks nyentil, ”Jakarta
will be OK
without F”. Slogan ringan dan menggelitik ini hampir tak terjadi pada kubu Foke.
Isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang bergulir dominan, untuk kelas menengah di perkotaan, ternyata tidak didistribusikan sebagai virus
online.
Dengan menggunakan
tools
atau peralatan analisis lain, bisa dilacak percakapan Foke sebenarnya
bukan kalah populer. Hanya saja, sentimen positif lebih lari ke
percakapan Jokowi. Hal ini bisa dilihat di socialmention.com, salah satu
laman web yang menganalisis kata kunci di berbagai situs jejaring
sosial.
Di Social Mention,
brand Jokowi memiliki
kekuatan 26 persen, sedangkan Foke 21 persen. Kekuatan ini adalah angka
unik dari socialmention.com yang diukur berdasarkan jumlah diskusi
terhadap
brand di media sosial.
Perbandingan sentimen
positif terhadap sentimen negatif pada kubu Jokowi adalah 8:1, sedangkan
untuk Foke 2:1. Tampak bahwa kubu Jokowi diuntungkan dengan sentimen
positif ini.
Unik juga untuk dicatat,
brand Jokowi
secara konsisten frekuensinya lebih sering dibicarakan dibandingkan
dengan Foke, yaitu rata-rata tiap 28 detik sekali untuk Jokowi dan 1
menit sekali untuk Foke.
Howsociable.com menguatkan pernyataan itu dengan memberi skor magnitudo untuk percakapan Jokowi sebesar 6,4, sedangkan Foke 6,1.
Jokowi unggul di semua situs jejaring sosial, misalnya di Twitter, Facebook, Youtube, Google plus, Tumblr, dan Yfrog.
Partisipasi kelas menengah
Analis pemasaran
internet yang juga CEO Virtual Consulting, Nukman Luthfie, memaparkan,
kampanye di media sosial dalam Pilkada DKI Jakarta merupakan contoh
paling bagus untuk melihat bagaimana media sosial bekerja.
”Jakarta
adalah pusat penggunaan media sosial di Indonesia, pengguna Twitter di
Jakarta paling banyak, akibatnya pembicaraan Pilkada DKI di Twitter
ramai,” katanya.
Kampanye di media sosial telah menjadi perang
terbuka bagi para pendukung. Bahkan, perang itu juga melibatkan orang
luar daerah mengingat Jokowi dan Ahok berasal dari luar daerah. Uniknya,
justru latar belakang calon yang luas itu memicu penyebaran pembicaraan
hingga luar Jakarta, mereka ikut membangun pencitraan untuk kubu
Jokowi-Ahok.
”Orang-orang yang tadinya tidak antusias menjadi
antusias membahas Pilkada Jakarta. Perbincangan di kelas menengah,
terutama di Twitter, menjadi kencang,” kata Nukman.
Mereka lebih
memilih perang lewat Twitter, bukan lewat Facebook. Perang ”140
karakter” lewat Twitter kini lebih disukai masyarakat perkotaan
dibandingkan dengan di Facebook.
Perilaku ini khas berasal dari
generasi melek Twitter. Dengan demikian, mereka ini adalah generasi baru
yang memasuki ranah politik. ”Inilah awal dari partisipasi masyarakat
kelas menengah di bidang politik,” kata Nukman.
Lalu, mengapa Jokowi dalam percaturan media sosial unggul dibandingkan dengan Foke?
”Jokowi
muncul karena perlawanan, orang sudah capai dengan wajah lama. Foke
sudah 35 tahun di pemerintahan Jakarta,” kata Nukman. Terlebih lagi,
Jokowi ternyata lebih dekat dan lebih ramah dengan blogger dan pengguna
Twitter.
Bukan berarti kubu Foke tak mengerahkan kekuatan media
sosial. Kata Nukman, kubu Foke justru merekrut orang-orang profesional
yang hidupnya memang berasal dari jualan kampanye di media sosial.
Sebaliknya, kubu Jokowi lebih mengandalkan sukarelawan, bahkan banyak di antaranya tak dibayar.
Hal menarik lain dalam perang media sosial, pada putaran kedua media sosial lebih banyak digunakan sebagai black campaign.
”Jika
pada putaran pertama lebih ke perang program, pada putaran kedua ini
digunakan untuk kampanye hitam, saling menjatuhkan satu sama lainnya,”
kata Nukman.
Beberapa kampanye hitam itu ditengarai berhasil
mendongkrak perolehan suara Foke, terutama dari masyarakat kalangan
bawah. Hanya saja, Jokowi akhirnya memenangi pertandingan ini karena
faktor orang-orang Jakarta yang ingin melihat perubahan.
Pantas diapresiasi
Satu hal yang pantas
diapresiasi dari perang 140 karakter ini, kata Nukman, adalah meskipun
pertengkaran dan perselisihan pendapat tinggi di tingkat media sosial,
di dunia nyata tak pecah pertikaian.
”Calon petahana juga
fair
dalam menanggapi hasil perhitungan cepat. Dari kubu yang menang
sementara versi hitung cepat juga tidak arogan menghina. Tim sukses juga
tidak saling berantem, inilah contoh penggunaan media sosial yang baik
untuk daerah lain,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto memiliki penilaian senada.
Menurut dia, kedua kubu sama-sama menggunakan media sosial dengan
intens. Kedua pihak menyadari media sosial sangat membantu dalam hal
pembentukan citra para kandidat, menyampaikan pesan kampanye, serta
visi-misi-program para kandidat.
”Sejak awal kita melihat para
simpatisan Jokowi, yang merupakan paduan dari tim yang dibentuk tim
sukses serta para sukarelawan, ikut berkontribusi pada pembentukan citra
positif Jokowi-Ahok,” kata Haryanto.
Pertarungan/kampanye tidak hanya melalui baliho dan koran, tetapi juga sampai ke
videoklip
yang dibuat oleh dua kubu. Kalau mau membandingkan dari sisi video
klip, menurut Haryanto, kubu Jokowi-Ahok menawarkan kesegaran dalam
penyajian, menyasar anak muda, dan juga massa mengambang.
”Sementara
kalau melihat video klip resmi yang dipergunakan Foke-Nara, kelihatan
menyasar kelompok menengah bawah dan menonjolkan iming-iming atau janji
yang selama ini diklaim sebagai prestasi Foke,” kata Haryanto.
Soal isu SARA, dia juga meyakini bahwa isu tersebut tidak efektif walaupun sudah sedemikian rupa mendiskreditkan Jokowi-Ahok.
”Hingga
Kamis (20/9/2012) pagi pun, seorang teman masih menemukan selebaran
yang ditumpuk di wilayah Pasar Minggu dan itu tak menggoyahkan perilaku
pemilih. Jadi, memang isu SARA tidak menjadi faktor utama. Pendekatan
kuno untuk mendiskreditkan begini sudah tak lagi atau tidak akan
’dimakan’ oleh masyarakat umum walau belum seluruhnya. Jika memang ada
kedewasaan masyarakat dalam menyikapi hal ini, kampanye hitam apa pun
tak kena,” kata Haryanto.
Belajar dari Pilkada DKI ini, terkait dengan pengaturan media oleh negara, sebaiknya hanya dilakukan pada media massa
mainstream dan membiarkan dinamika dalam media sosial berjalan dengan sendirinya.
”Pesan
negatif yang ada ternyata langsung direspons oleh pesan-pesan positif
dari kubu lainnya.
Masyarakat sudah makin dewasa,” ujar Haryanto.
Bandingkan video berikut ini
SUMBER