Hari ini tanggal 21 April ya ? Waduh, saking banyaknya kerjaan kantor, saya sampai lupa kalau hari ini merupakan tanggal yang katanya "bersejarah" bagi emansipasi wanita dengan tokoh yang di blow up yang bernama RA. Kartini.
Hehehe, kok saya bilang RA. Kartini di blow up ya ? Emang kok pesimis banget ya saya sama RA. Kartini?
Nah, be patient mennn. Saya jelasin dulu di artikel ini ya :)
Setelah saya blog walking untuk mencari tahu informasi tentang sosok RA. Kartini yang sebenarnya, saya menemukan beberapa blog yang memang skeptis terhadap sosok beliau ini. Nih saya nukil dari sumbernya (dari sini
sumbernya) supaya pola pikir kita jangan mau disetir oleh siapapun (termasuk yang nulis blog ini, hehehehe).
Cekidot
"21 April bagi kaum hawa di negeri ini tentu saja merupakan
hari yang istimewa. Karena pada tanggal tersebutlah salah seorang putri
“kebanggan” Indonesia dilahirkan di bumi Jepara, Jawa Tengah. Raden Ajeng
Kartini (1879-1904) namanya. Sebagai salah satu anak manusia yang pernah
mengenyam bangku sekolah di negeri ini tentunya saya juga menaruh rasa hormat
yang dalam kepada sosok wanita yang oleh masyarakat kadung dianggap sebagai
figure teladan perempuan pejuang dan tokoh emansipasi wanita ini. Hal itu memang
sudah terdoktrinkan secara sistematis ke dalam otak saya dan juga kepada jutaan
alumni sekolah di republik tercinta ini bahwa memang demikianlah sosok harum
Kartini. Namun setelah Liang Pikir saya (baca: Otak) perlahan beranjak dewasa,
kini saya mulai sadar bahwa Kartini ternyata tak se-sakral itu. Dan kini saya
juga tertarik tuk meng-kritisi sosok Putri Kebanggan Indonesia ini, secara
Objektif tentunya.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sang “Putri Yang
Mulia” (Sebutan beliau dalam salah satu lirik lagu nasional Ibu Kita Kartini),
izinkanlah saya mengungkapkan beberapa kegundahan yang mengganjal di benak saya
tentang Raden Ajeng Kartini ini.
Pertama-tama bolehlah saya cuplikkan beberapa lirik dalam
Lagu Ibu Kita Kartini yang juga bisa menjadi renungan kita bersama. Berikut
beberapa petikan lirik lagu “Sakral” tersebut yang masih saya ingat :
Ibu Kita Kartini//
Putri sejati//
Putri Indonesia//
Harum namanya//
Wahai ibu kita Kartini//
Putri yang mulia//
Sungguh besar cita-citanya//
Bagi Indonesia//
Dalam lirik lagu tersebut nampak jelas begitu terpujinya
Kartini ini. Terbukti dengan diproklamirkannya penyebutan putri yang mulia pada
beliau. Dan ada lagi satu bait dalam lirik lagu tersbut yang juga dapat kita
kritisi bersama, yaitu pada kata”Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.”
Sebenarnya apakah gerangan cita-cita besar Kartini yang oleh
banyak orang disebut sebagai cita-cita yang mulia itu. Jawabannya konon adalah
perjuangan mengenai emansipasi dan kesetaraan Gender. Untuk membahas masalah
ini (Emansipasi dan Kesetaraan Gender) sungguh membutuhkan waktu yang tidak
sedikit dan tentunya akan selalu menimbulkan Pro dan Kontra setelahnya. Maka
dalam seduhan (tulisan) ini saya mencoba mengambil sisi lain yang juga layak
tuk dicermati. Yaitu mengenai kelayakan Kartini menyandang gelar Tokoh
Emansipasi sehingga dijadikan Inspirator dan simbol sakral para wanita di
negeri ini hingga hari ini.
Kisah “Mini” Kartini
Nama Kartini
sebenarnya baru meledak sedemikian tenar pasca diterbitkannya kumpulan
surat-menyuratnya (Korespondensi) dengan para Nonik Belanda. Kumpulan surat
yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang)
itu sendiri diterbitkan 14 tahun setelah kematiannya. Dan inilah yang patut
digaris bawahi, penerbitnya adalah Belanda sang penjajah negeri ini. Menjadi
menarik jika kita cermati apakah gerangan maksud Belanda di balik semua itu.
Mengapa kita patut curiga dengan maksud negeri yang tlah mengeruk kekayaan
perut Indonesia selama 3,5 Abad ini. Karena tidak mungkin negara yang tabiatnya
adalah penjajah melakukannya dengan tanpa tujuan yang besar di baliknya.
Belanda boleh saja tak menjajah Indonesia lagi secara fisik namun haram bagi
mereka jika melepaskan Indonesia secara cuma-cuma karena negara inilah (baca:
Indonesia) yang telah menghidupi negeri Kincir Angin tersebut selama 350 Tahun.
Pengkultusan Kartini adalah salah satu buah manis yang dihasilkan dari penanaman
benih sejarah oleh Belanda melalui diterbitkannya buku Habis Gelap Terbitlah
Terang. Melalui buku itu Belanda ingin mendoktrin otak-otak generasi Indonesia
selanjutnya (utamanya wanitanya) agar mempelajari sosok Kartini dan meniru
serta melanjutkan ide-ide Kartini yang tentunya telah dipoles sedemikian rupa
oleh Belanda. Jika kita berfikir lebih jernih, mengapa hanya Kartini saja tokoh
wanita yang di Blow-Up sebegitu besarnya dalam sejarah yang dikonstruksi oleh
Belanda?
Bukankah di negeri ini dahulu juga banyak tokoh wanita yang juga tak
kalah dengan Kartini dan bahkan lebih hebat dan besar jasanya bagi bangsa ini
daripada Kartini. Jika Kartini hanya berkutat pada ide-ide dan diskusi dengan
para Tokoh Belanda melalui surat-menyurat, maka masih lebih hebat Dewi Sartika
(1884-1947) yang tidak hanya sekedar berwacana tentang pendidikan kaum wanita,
namun juga mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai
tempat di Bandung dan luar Bandung. Kemudian ada lagi Rohana Kudus yang menyebarkan
ide-idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak
dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio
(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Apalagi dengan Cut Nyak Dhien yang
merupakan sosok wanita pejuang yang sangat tangguh hingga membuat Belanda
sangat merasa terancam dengan pengaruh wanita yang satu ini di tengah-tengah
masyarakat Aceh kala itu. Beliau berjuang bahkan dengan mengangkat senjata
bahu-membahu hingga akhir nafasnya bersama sang suami, Teuku Umar.
Nah,
bandingkan dengan Kartini. Sungguh mereka lebih hebat daripada Kartini yang
masih berkutat pada wilayah ide-ide dan cita-cita saja. Contohnya adalah Rohana
Kudus yang sangat kenyang dalam merasakan tekanan pihak penjajah Belanda. Terbukti
dengan sering dibredelnya media massa yang dipimpinnya oleh Belanda kala itu.
Cut Nyak Dhien, jangan tanya lagi, meski seorang perempuan namun Belanda
menganggapnya sama berbahayanya dengan para pejuang laki-laki. Jiwa, harta dan
segala miliknya adalah sesuatu yang sungguh sangat ingin dimatikan oleh
Belanda. Lantas mengapa hanya Kartini yang dielu-elukan hari ini.
Awas Proyek Terselubung Kartinisasi
Mengapa hanya Kartini sosok wanita yang hingga kini
dikultuskan sebagai Tokoh Inspirator bagi para kaum hawa di negeri ini. Hal ini
nampaknya tak lain adalah merupakan sisa-sisa proyek Belanda yang ingin
meracuni otak anak-anak Indonesia melalui pembelokkan sejarah yang dibentuknya.
Ingat, Kartini mulai melejit namanya pasca diterbitkannya kumpulan
surat-menyuratnya oleh Belanda. Kartini lebih disukai Belanda karena tidak
membahayakan kepentingan Belanda. Karena tidak ada gerakan nyata darinya yang
memberi pengaruh luas pada masyarakatnya kala itu. Kartini adalah anak priyayi
alias dari kalangan ningrat yang pergaulannya sangat terbatas, hingga tak
mungkin baginya bergaul dengan rakyat jelata, karena kala itu masih berlaku
sistem Kasta Sosial. Maka wajar saja jika Harsja W. Bahtiar dalam artikel
berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang terangkum
dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W.
Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang
emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada konstruk (bentukan)
orang-orang Belanda.
Jika tokoh-tokoh Muslimah seperti Dewi Sartika, Rohana
Kudus, Cut Nyak Dhien dan masih banyak tokoh wanita hebat lain tidak diangkat
sejarahnya seperti yang dilakukan Belanda kepada Kartini maka itu sangat
beralasan. Karena Belanda memiliki beberapa alasan penting, diantaranya adalah
:
Cut Nyak Dhien,
Rohana Kudus, dan Dewi Sartika selain
merupakan para sosok wanita yang sumbangsih nyata-nya sangat besar bagi
masyarakat dan bangsa, mereka juga adalah figur Muslimah yang taat dan Belanda
sangat takut akan hal itu. Karena menurut pendapat Snouck Hurgonje (Orientalis
kesohor) yang merupakan tokoh yang pendapatnya sangat mempengaruhi Belanda
dalam mengambil tiap kebijakan bagi daerah jajahannya pernah mengatakan bahwa
golongan yang paling keras terhadap Belanda adalah Islam. Nah jika para wanita
Islam dan generasi penerusnya mewarisi semangat dan karya para tokoh muslimah
seperti Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika dan Rohana Kudus maka dapat dipastikan
Belanda tidak akan bisa bertahan lama tuk terus mencengkram Indonesia. Apalagi
jika wanita Muslimah itu berpendidikan dan memiliki semangat belajar dan
mengamalkan ilmunya seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus yang berjuang melalui
jalur pendidikan bagi masyarakat, tentunya akan membuat Belanda semakin sulit
menggenggam Indonesia lebih lama lagi. Hal ini berbeda dengan Kartini yang paham
ke-Islamannya kala itu masih rendah dan cenderung berpaham Pluralisme alias
menyamaratakan semua agama yang tentunya daya militansi “Pemberontakannya”
tidak keras dan cenderung jinak. Ingat, Kartini baru tertarik mendalami Islam
lebih dalam hanya sebentar saja di saat akhir hidupnya dimana kala itu beliau
banyak mengaji kepada Kyai Sholeh Darat dari Semarang. Berikut salah satu isi
suratnya yang nampak jelas menggambarkan bahwa agama dalam benaknya tak lain
hanya sekedar hal sepele belaka,”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan
orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka,
tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan,adalah bunyi
tanpa makna.” (Surat Kartini Kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902)
Cut Nyak Dhien,
Dewi Sartika dan Rohana Kudus sangat anti penjajah Belanda dan sangat gigih
melawan mereka dalam bidang masing-masing. Berbeda dengan Kartini yang
pergaulannya agak eksklusive yaitu
dengan para tokoh Belanda meski lewat korespondensi (surat-menyurat). Selain
itu Kartini juga nampaknya amat kagum dengan negeri Belanda sang penjajah
negaranya. Terbukti dengan cita-citanya yang sangat ingin belajar ke Belanda.
Seperti yang tertuang dalam suratnya yang berbunyi,“Aku mau meneruskan pendidikan
ke Holland (Belanda), karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas
besar yang telah aku pilih” (kepada Ny. Ovinksoer, 1900).
Bandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang tak mau berkompromi
dan sangat membenci Belanda. Sungguh inilah nampaknya juga yang menjadi salah
satu alasan mengapa Kartini sangat di-anak emas-kan oleh Belanda sehingga
sejarah mengenai dirinya begitu agung, meski sesungguhnya dia tak layak untuk
itu. Maka dari sini kita dapat menarik sebuah benang merah mengapa kini hanya Kartini
yang sejarahnya begitu gencar dipublikasikan dan bahkan hari kelahiranya sering
diperingati secara meriah mulai dari pemakaian Kebaya oleh para wanita negeri
ini di hari tersebut hingga kegiatan-kegiatan seremonial lainnya. Padahal jika
boleh dikata tokoh ini masih dalam tahap bercita-cita serta bermimpi dan belum
bergerak secara nyata dan sumbangsihnya bagi masyarakatnya kala itu juga tidak
terlalu mencolok. Lantas mengapa justru Kartini yang diagung-agungkan sebagai
Putri Indonesia yang mulia dan membanggakan? Ah nampaknya kita memang lebih
senang kepada tokoh yang koar-koarnya dan ucapannya indah meski tindakannya
belum nyata ada (No Action Talk Only). Sama seperti kasus penganugerahan Nobel
Perdamaian bagi Obama yang banyak dikritik oleh banyak masyarakat dunia karena
sebenarnya dia tidak layak untuk itu sebab Obama –menurut mereka- hanya pandai
berpidato namun Actionnya jauh dari apa yang diharapkan.
So, jika hingga hari ini Kartini masih dikultuskan
sedemikian rupa, itu adalah hasil rekayasa manis pihak-pihak tertentu yang
ingin terus membelokkan sejarah bangsa ini yang Shahih dan asli. Belanda dan
pihak-pihak yang berkepentingan mencengkeram Indonesia ingin agar generasi baru
Indonesia, terutama wanitanya,supaya menjadi seperti Kartini yang jinak pada
Barat, dan paham keagamaannya Pluralis alias tidak fanatik dan taat pada
agamanya. Mengapa demikian? Karena Islam adalah musuh yang sangat ditakuti
Barat/penjajah (seperti kata Snouck Hurgonje). Dan jika semua itu berjalan
sesuai Proyek mereka, maka bangsa Indonesia ini akan tetap mudah mereka
kontrol.
Jadi kesimpulan yang dapat kita tarik dari pembahasan ini
adalah, ternyata jikalau kita dapat berpikir secara akal sehat maka kita akan dengan sangat yakin tuk
mengatakan bahwa masih lebih layak Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, Rohana Kudus
dan tokoh-tokoh wanita pejuang lainnya yang Actionnya bagi bangsa ini telah
terbukti nyata ada dan bukan hanya sekedar cita-cita/mimpi/dan Talk Only belaka
yang dapat dianggap sebagai wanita pejuang dan Inspirator sejati bagi wanita.
Karena kita sebenarnya lebih butuh action nyata dari seorang manusia yang
ditokohkan dan bukan hanya sekedar omongan belaka. Jika hanya karena memiliki
cita-cita yang besar bagi Indonesia Kartini tlah dicap sebagai Putri Indonesia
yang sejati nan mulia (seperti dalam lirik lagu di atas), lantas apa gelar yang
layak disematkan kepada tokoh-tokoh wanita pejuang yang tidak hanya
bercita-cita namun telah berkarya dan bergerak nyata bagi bangsa ini??? toh
kalau hanya bercita-cita saja seperti Kartini, maka saya, anda dan semua rakyat
negeri ini juga bisa, kan?
Sekarang terserah anda bagaimana menilai Kartini. Apakah
memang masih sebegitu agungkah Kartini yang cuma bisa galau lewat surat - surat korespondensi?
Talk Less Do More, Don't Talk More Do Less …??? "
Fiuuuhhh, kira-kira begitulah memaknai tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
Silahkan cek di google dengan kata kunci : Kartini Bukan Pahlawan
Atau silahkan baca lagi disini :
dan sumber lainnya. Googling aja deh ya biar pinter :)
Lebih paten mamak dirumah saya (dan mamak Anda juga) yang jauh lebih banyak pengorbanannya ketimbang si Kartini toh ? hehehehehehe
Salam paten untuk Indonesia.