Pagi buta di waktu sekarang ini adalah waktu yang tepat bagi blogger untuk menuangkan ekspresi tulisannya. Alasannya karena bangun tidur lho, jadi pikiran masih fresh from kulkas, hehehehehehe...becanda kok :)
Di waktu bersamaan juga, hari ini Medan memilih siapa yang akan menjadi orang nomor 1 dan 2 di tanah pluralis Batak, Karo, Nias, Melayu dan lain-lain dalam heterogenitas masyarakatnya. Siapa yang akan memimpin SUMUT 1 dan 2 ? Hanya waktu lah yang menjawab.
Nah, dengan 5 pasangan yang maju pada pilkada SUMUT, tentu membawa janji-janji politis yang bakalan nanti saya -kita- pasti tagih.
Pantaskah sebenarnya mereka ber-5 maju sebagai pemimpin SUMUT ? Secara urusan administrasi untuk maju sebagai calon pemimpin SUMUT, tentu sudah memenuhi syarat. Tapi tunggu dulu, apakah secara elektabilitas politik, genuine & authentic branding yang tak basa basi (tidak dibuat-buat) mereka semua mumpuni ? Ups, tunggu dulu. Biarkan pemerhati branding yang berbicara ya :)
Medan sekarang lebih mendominasi kalangan kelas menengah dengan karakteristik rakus akan globalisasi, daya beli tinggi, berpengetahuan luas, dan berwawasan global. Mereka bersekolah tinggi. Mereka pengkonsumsi apps yang passionate (maklumlah, sekarang eranya digitalisasi). Nah, mampukah Medan sedikit tertiru pilkada DKI 1 yang mayoritas pemilihnya justru kelas menengah ini ? Yup, sepertinya masyarakat kelas menengahlah yang menentukan nasib SUMUT 1. Masyarakat ini tak bisa dibohongi dengan kebohongan janji politik atau biasa disebut oleh mas Yuswohady sebagai Gincu Branding (menor, norak, palsu)
Medan sekarang lebih mendominasi kalangan kelas menengah dengan karakteristik rakus akan globalisasi, daya beli tinggi, berpengetahuan luas, dan berwawasan global. Mereka bersekolah tinggi. Mereka pengkonsumsi apps yang passionate (maklumlah, sekarang eranya digitalisasi). Nah, mampukah Medan sedikit tertiru pilkada DKI 1 yang mayoritas pemilihnya justru kelas menengah ini ? Yup, sepertinya masyarakat kelas menengahlah yang menentukan nasib SUMUT 1. Masyarakat ini tak bisa dibohongi dengan kebohongan janji politik atau biasa disebut oleh mas Yuswohady sebagai Gincu Branding (menor, norak, palsu)
Gincu
Untuk menjelaskannya saya ingin mengambil contoh gaya personal branding para politisi yang hampir setiap malam disaksikan iklannya di TV. Gaya dari iklan-iklan itu umumnya setali tiga uang: si tokoh menggunakan atribut-atribut partai dan atribut merah putih, menyuarakan nasionalisme, membela keadilan, perhatian kepada rakyat kecil, anti korupsi. Selalu saja tak ketinggalan, si tokoh mengedepankan prestasi-prestasi hebat yang telah dicapainya selama ini.
Dalam iklan itu si tokoh umumnya dipersonifikasikan sebagai sosok
yang arif-bijaksana, pemurah, taat beragama, peduli pada kaum papa.
Dalam adegan-adegan iklan biasanya digambarkan si tokoh merangkul
pedagang pasar, memberikan sumbangan bencana alam, atau bersalaman
dengan masyarakat tertinggal di pedalaman. Agar dramatis dan mengena
hati pemirsa, seringkali gambar direkayasa dengan memberikan efek slow
motion.
Untuk memperkuatnya, biasanya iklan dilengkapi dengan celoteh para selebriti yang berperan sebagai endorser (sebut saja mereka “cheerleader”)
ngomong yang baik-baik mengenai si tokoh. Namanya saja iklan, tentu
saja kurap, kudis, dan panu si tokoh disembunyikan rapat-rapat. Di layar
TV pokoknya yang muncul serba kinclong. Tak tahu kenapa, setiap kali
habis nonton iklan-iklan semacam ini mendadak saya matikan saja siaran TV nya dan kembali ke aktivitas blogging, hehehehehehhehe...
Tak cuma iklan TV, biasanya sosok si tokoh juga ditampilkan dalam
billboard-billboard raksasa di jalan-jalan protokol dan strategis. Di
situ terpampang para gubernur lengkap dengan seragam putih dan topi
kebesarannya numpang nampang iklan promosi kampanye wisata daerah. Saya
bingung tujuh keliling, kenapa juga foto si gubernur yang justru segedhe
gadjah, sementara foto potensi wisatanya sendiri nyemplik kecil, kalah
bersaing dengan foto mentereng sang gubernur. “Nabung elektabilitas”
kali ya, untuk Pilkada mendatang, hehehe. (lagi-lagi saya ketawa :D )
Tidak seperti Jokowi yang ikhlas menggelar pelantikan walikota,
iklan-iklan dan billboard-billboard itu umumnya digelar dengan tujuan
strategis yang jelas, yaitu: menaikkan elektabilitas, menaikkan
awareness, atau membangun citra mulia si tokoh. Tujuan akhirnya lebih
jelas lagi, yaitu terpilih menjadi bupati, menjadi gubernur, atau
menjadi presiden. Pasang iklan tiap malam di TV tentu saja membutuhkan
investasi miliaran rupiah, dan setiap investasi harusnya menghasilkan
ROI (return of investment) yang setimpal. Di sinilah keikhlasan dan ketulusan itu sulit kita temukan.
Iklan adalah media promosi yang diperoleh karena kita membayar (paid media).
Karena membayar maka kita bisa merekayasa, memoles, memplintir, agar
sampai maksud dan tujuan yang kita inginkan. Itu sebabnya iklan-iklan
itu tidak bisa otentik, tidak bisa polos, tidak bisa apa adanya. Citra
yang dibangun iklan tersebut penuh dengan rekayasa, intrik, dan
kemunafikan. Itulan yang saya sebut gincu branding. Sebuah strategi
branding yang “roh”-nya adalah udang di balik bakwan.
Untuk menjalankan authentic branding dibutuhkan tokoh pemimpin yang
berkarakter. Saya hanya berdoa semoga SUMUT dipimpin oleh authentic character, karakter yang tanpa basa basi. Karena dengan begitu setiap polah tingkahnya akan
menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama para politisi yang
berambisi menjadi bupati, gubernur, atau presiden.
Marketing Al Amin
Marketing adalah al amin alias trusted dan dapat dipercaya. Kalau produknya jelek harus berani dibilang jelek. Begitupun kalau produknya bagus dibilang bagus dilandasi kejujuran dan bukti-bukti yang dapat dipercaya. Marketing juga adalah kesesuaian antara janji dengan bukti. Ketika selama kampanye seorang calon pemimpin berjanji kepada masyarakat pemilihnya, maka ketika terpilih ia harus bisa mewujudkan janji tersebut menjadi kenyataan.
Marketing itu tidak ada yang instan. Ya, karena
produk yang betul-betul bagus adalah hasil perasan keringat, buah dari
kerja keras bertahun-tahun, tak ada yang semalam jadi. Membuat produk
jelek menjadi bagus melalui pemolesan/pembedakan/penggincuan di mata
publik itu baru instan. Marketing pencitraan memang bisa dibuat instan, tapi marketing al amin butuh kerja keras bertahun-tahun disertai kejujuran dan kearifan.
Oleh karena itu saya memaknai marketing dalam konteks pemilihan capres/caleg/cagub-bup sebagai proses menciptakan capaian (achievement) dan membangun karakter (character-building)
dari si calon. Memarketingkan capres atau cagub bukanlah memasang
baleho foto si calon di seantero negeri atau menayangkan spot iklan TV
si calon 60 kali setiap hari menjelang hari pencoblosan.
Character Matters!
Aktivitas fundamental memarketingkan capres atau cagub adalah bagaimana si calon menciptakan legacy demi legacy prestasinya melalui kerja nyata dan bagaimana melalui perilaku sehari-hari sebagai pemimpin ia membentuk karakternya yang otentik (authentic character). Itu semua dibangunnya jauh sebelum si capres atau cagub menyongsong pencoblosan. Dari track record si calon tesebut terbentuklah ekuitas merek (brand equity) si calon yang baik di mata stakeholders-nya. Ekuitas merek kokoh inilah yang secara genuine akan mengantarkan si calon memenangkan pemilihan.
Kemenangan Jokowi-Ahok merupakan kasus menarik karena kemenangan tersebut merupakan cermin keunggulan “marketing al amin” atas “marketing pencitraan”.
Proses kemenangan Jokowi tidak diperoleh secara instan beberapa minggu
menjelang pencoblosan, tapi sudah dibangun bertahun-tahun sebelumnya
melalui capaian-capaian luar biasa selama menjadi walikota Solo.
Kemenangan Jokowi juga bukan semata hasil dari aksi merakyat yang
dilakukannya selama kampanye, tapi dari karakter kepemimpinan yang ia
praktekkan selama menjadi walikota Solo, terlepas dari selentingan : ..."menghadapi mamak banteng aja, Jokowi jadi keder...." #peaceman ^^v
Namanya saja karakter, tak mungkin bisa diubah dalam kurun waktu 3
bulan, 6 bulan, atau setahun menjelang pencoblosan. Mana bisa secepat bus Medan-Brastagi tiba-tiba menjadi pemurah. Mana bisa seumur-umur tak
pernah turun ke masyarakat tiba-tiba menjadi sosok merakyat. Mana bisa
seumur-umur menyunat uang rakyat tiba-tiba menjadi malaikat.
Pelajaran Berharga
Kasus kemenangan Jokowi-Ahok mengandung pelajaran berharga bagi para capres/caleg/cagub-bup yang akan maju untuk dipilih rakyat. Bagi mereka pelajarannya jelas bahwa memarketingkan diri (marketing yourself) si calon bukanlah ditempuh melalui proses pencitraan apalagi politik uang, tapi melalui proses character building yang dipraktekkannya jauh sebelum hari pencoblosan. Berkaitan dengan hal ini, marketing capres/caleg/cagub-bup menjadi tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah yang paling hina yaitu
dengan cara menyogok pemilih. Lebih hina lagi jika uang yang digunakan
untuk menyogok itu adalah uang hasil korupsi. Tingkatan kedua adalah dengan cara melakukan pencitraan dimana muka bopeng-bopeng ditutup rapat dengan bedak dan lipstik. Dan tingkatan ketiga adalah
yang paling al amin yaitu si calon mempersiapkan diri dengan membangun
prestasi dan mengatur sikap dan perilakunya sehingga memiliki karakter
arif-bijaksana.
Bagi tim sukses dan konsultan si calon pelajarannya pun jelas, bahwa
marketing capres/caleg/cagub-bup bukanlan sesederhana memasang
poster/baleho, menayangkan iklan TV si calon, atau melakukan serangan
fajar menjelang hari pencoblosan. Upaya memenangkan seorang calon
pemimpin adalah sebuah proses etis untuk menemukan sosok yang memiliki
kompetensi teruji dan karakter yang agung.
Seperti terlihat pada proses kemenangan Jokowi-Ahok, ketika
kompetensi teruji dan karakter agung itu sudah terpenuhi, sesungguhnya
marketing cagub itu nggak neko-neko. Nggak perlu teknik marketing yang
canggih. Cukup mengkomunikasikan track record dan karakter yang sudah
melekat pada si calon pemimpin secara authentic dan genuine, tanpa ditambah-tambah atau dikurang-kurangi. Bahkan mungkin tak perlu baleho besar-besar atau iklan TV yang menggemparkan.
Word of Mouth
Karisma pemimpin yang memiliki track record baik dan karakter agung secara natural akan memancar ke segala penjuru dan memicu promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) dari para pemilihnya. Masyarakat pemilih menjadi ambasador si calon pemimpin yang secara sukarela menyebarkan pesan-pesan positif kepada pemilih lain. Harap diketahui, dalam konsep marketing, promosi dari mulut ke mulut ini adalah bentuk promosi yang paling murah tapi memiliki dampak luar biasa (low budget high impact).
Karena itu, kalau seluruh calon pemimpin cerdas menggunakan
pendekatan marketing al amin untuk menghasilkan promosi dari mulut ke
mulut yang begitu powerful ini, wow alangkah indahnya negeri ini. Ya,
karena dengan begitu tak akan ada lagi capres atau cagub yang
repot-repot melakukan korupsi untuk mendanai kampanyenya.
No comments:
Post a Comment