Pernahkah Anda diajarkan oleh guru/ dosen tentang nilai kegagalan ? Saya pikir kita semua dituntut untuk mencari sendiri nilai kegagalan dari berbagai media untuk mempelajarinya. Berikut Mas Yuswohady berbagi tentang arti kegagalan.
Kegagalan, apalagi jika kegagalan itu adalah keterpurukan hingga di titik terbawah, seringkali kita sikapi sebagai malapetaka, sebagai akhir segalanya. Keterpurukan di titik nol seringkali menjadikan kita ciut hati, undermotivated, dan berat memulai lagi dari bawah. Akibatnya, keterpurukan menjadikan kita makin terpuruk. Kita kian terjebak dalam pusaran keterpurukan.
Tapi kenapa kita tidak berpikir sebaliknya? Kenapa kita tidak menjadikan posisi terpuruk di titik nol sebagai sebuah energi luar biasa untuk bangkit. Kenapa kita tidak menjadikan keterpurukan di titik nol sebagai sinyal bahwa kita harus membangun sense of crisis, sinyal untuk mengetatkan ikat pinggang. Kenapa keterpurukan di titik nol tidak menjadikan kita ringan melenggang
menggapai capapian-capaian luar biasa di depan. Kenapa keterpurukan di
titik nol tidak kita jadikan momentum untuk change the world.
Saya melihat keterpurukan di titik nol adalah “harta karun”
bagi kesuksesan kita karena ia menyimpan begitu banyak pelajaran,
keutamaan, dan wisdom luar biasa. Karena itu, bahkan ketika kita tidak
sedang terpuruk, kita harus menciptakan mindset keterpurukan di titik nol agar kita tidak ponggah, tidak sombong, tidak sok tahu, tidak malas, tidak terjebak di zona nyaman.
Bicara mengenai keterpurukan di titik nol, role model saya adalah Steve Jobs.
Banyak orang mengagumi Steve karena kepiawaiannya mencipta inovasi
hebat: Mac, iPod, iPhone, iPad. Saya justru mengagumi dia karena
kemampuannya bangkit dari keterpurukan di titik nol.
Belajar dari Steve Jobs
Saya adalah Steve Jobs fans. Karena itu saya sangat senang ketika Jumat (11/11) lalu saya diminta hadir di teman-teman XL, berbicara mengenai, “Steve Jobs… what we can learn from him.” Di kantin kantor pusat operator seluler kedua terbesar Tanah Air ini saya gayeng berdiskusi dengan seratusan orang mengenai seluk-beluk kualitas personal seorang Steve Jobs. Dari sekian banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari dia, ada satu yang sangat mempengaruhi saya.
Saya adalah Steve Jobs fans. Karena itu saya sangat senang ketika Jumat (11/11) lalu saya diminta hadir di teman-teman XL, berbicara mengenai, “Steve Jobs… what we can learn from him.” Di kantin kantor pusat operator seluler kedua terbesar Tanah Air ini saya gayeng berdiskusi dengan seratusan orang mengenai seluk-beluk kualitas personal seorang Steve Jobs. Dari sekian banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari dia, ada satu yang sangat mempengaruhi saya.
Saya katakan di situ bahwa Steve adalah the real hero.
Seorang the real hero tak hanya mengecap kesuksesan semata. Ia juga
pernah gagal, bahkan kegagalan di titik terbawah dan terpuruk. Namun di
tengah keterpurukan di titik nol, the real hero bisa bangkit lagi dan
menuai kejayaannya kembali.
Steve mengalami kegagalan fatal saat dia dipecat dari Apple oleh CEO nya waktu itu, John Sculley.
Pemecatan ini menyakitkan karena justru Steve lah yang merekrut dan
membawa masuk John Sculley untuk mengurusi pemasaran Macintosh. Seperti
kita tahu, sepeninggal Steve waktu itu, nasib Apple menjadi makin
runyam.
Menjadi Pemula
Apa komentar Steve mengenai pemecatan yang menyakitkan tersebut? “…getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.”
Apa komentar Steve mengenai pemecatan yang menyakitkan tersebut? “…getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.”
Hebatnya Steve, ia tidak menyikapi pemecatannya secara negatif dan
pesimistik sebagai sebuah kekalahan dan akhir segalanya, tapi justru
sebaliknya membebaskannya memasuki masa-masa terkreatif dan
terproduktif dalam perjalanan hidupnya.
Yang menarik, memulai kembali di titik nol justru menjadikan Steve
punya energi luar biasa untuk berkreasi yang kita tahu akhirnya
mengantarkannya untuk mencipta produk-produk paling kreatif dalam
sejarah umat manusia: iPod, iPhone, iPad. Kondisi serba keterbatasan di
titik nol ini justru memberikan spirit luar biasa untuk merengkuh
kesuksesan.
Yang paling saya suka adalah penyataan Steve bahwa kondisi di titik
nol menjadikannya ringan melangkah sebagai seorang pemula. Ya, karena
ketika Anda berada di puncak kesuksesan maka setiap langkah Anda akan
disorot orang lain, sehingga kita merasakan beratnya langkah kita.
Sebaliknya, ketika kita terpuruk di titik nol, maka kita tidak lagi
dianggap, kita tidak lagi diperhitungkan orang lain. Karena tidak
diperhitungkan, maka langkah kita jadi ringan, plong melakukan dan
berkreasi apapun.
Yang juga saya suka dari pernyataan Steve adalah bahwa kondisi di
titik nol menciptakan ketidakpastian dan ketidakmenentuan. Ketidak
pastian dan ketidakmenentuan menjadikannya berpikir 1000% lebih keras,
bekerja 1000% lebih keras, berkreasi 1000% lebih keras. Ketidakpastian
dan ketidakmenentuan menjadikannya keluar dari zona nyaman. Kalau
meminjam kata-kata Andy Grove pendiri Intel, ketidakpastian dan ketidakmenentuan menjadikan kita paranoid. Dan kata dia, “Only the paranoid survive!!!”.
Musuh Kesuksesan
Musuh kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Itulah pelajaran yang kita petik dari keterpurukan Nokia. Kesuksesan memang menciptakan kondisi enak, nyaman, dipuja-puji, disanjung-sanjung, ditiru-tiru, dijadikan role model, dianggap paling hebat. Kondisi serba enak dan nyaman ini seringkali menjadikan kita lupa. Kondisi paling parah adalah kalau kesuksesan menjadikan kita malas berpikir keras, malas bekerja keras, malas berkreasi keras, malas belajar keras. Ketika itu terjadi maka kiamat di depan mata.
Musuh kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Itulah pelajaran yang kita petik dari keterpurukan Nokia. Kesuksesan memang menciptakan kondisi enak, nyaman, dipuja-puji, disanjung-sanjung, ditiru-tiru, dijadikan role model, dianggap paling hebat. Kondisi serba enak dan nyaman ini seringkali menjadikan kita lupa. Kondisi paling parah adalah kalau kesuksesan menjadikan kita malas berpikir keras, malas bekerja keras, malas berkreasi keras, malas belajar keras. Ketika itu terjadi maka kiamat di depan mata.
Karena itu, justru ketika kita sedang merayap ke atas mendaki kesuksesan; mindset berpikir kita harus berjalan ke arah yang sebaliknya,
merayap menuju ke posisi keterpurukan di titik nol. Itu artinya, saat
kita sudah menggapai di titik terpuncak kesuksesan, saat itu juga
mindset berpikir kita harus sudah ada di posisi keterpurukan di titik
nol.
Mindset keterpurukan di titik nol adalah harta karun kita untuk
mencapai sukses berkesinambungan. Ia memberikan pelajaran, kebajikan,
dan wisdom luar biasa. Ia membantu kita keluar dari penyakit kronis
kemapanan.
“Life begins at the end of comfort zone.”
No comments:
Post a Comment